Tata Krama: Pilar Harmoni dalam Masyarakat

Batam, 06 Februari 2025 – di bawah langit yang teduh—sebuah pagi yang sarat makna menyapa lapangan SMAN 14 Batam, di mana Klinik Literasi Saujana menjadi ruang bagi siswa-siswi untuk merajut pemikiran dan membingkai hikmah. Hari itu, bukan sekadar pertemuan biasa. Ini adalah panggung kecil bagi generasi muda untuk menyelami makna tata krama, sesuatu yang tampak sederhana, namun menjadi benang merah yang menenun harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.

Duduk berkelompok, para siswa terlihat antusias. Beberapa mengobrol pelan, sebagian lagi tampak merenung, seolah mencoba merangkai kata yang tepat untuk menggambarkan makna dari sikap santun dalam kehidupan sehari-hari. Sang MC, dengan senyum yang menenangkan, membuka diskusi dengan satu pertanyaan sederhana, tetapi mendalam:

“Apa arti tata krama bagi kalian?”

Sejenak, keheningan menyelimuti lapangan. Para siswa saling pandang, sebelum akhirnya dua suara berani mengisi ruang kosong. Nama mereka Ryehan Rizki Ramadhan dan Marhama Maimana Mokodompit, dua siswa yang dengan yakin mengangkat tangan, bersiap membagikan pemikiran mereka.

Dengan penuh percaya diri, Ryehan melangkah maju. Suaranya tegas, namun lembut. Ia berbicara tentang tata krama sebagai cerminan jati diri, sesuatu yang lebih dari sekadar kebiasaan, melainkan nilai yang mencerminkan bagaimana seseorang ingin dikenang oleh lingkungannya.

“Tata krama itu bukan hanya soal berbicara dengan sopan atau memberi salam. Lebih dari itu, ini adalah tentang bagaimana kita menghormati orang lain, bagaimana kita menunjukkan siapa diri kita yang sesungguhnya,” ucapnya dengan mantap.

Sementara itu, Marhama menyambung dengan pemikiran yang tak kalah tajam. Baginya, tata krama adalah jembatan yang menghubungkan hati, menjadi perekat dalam interaksi sosial yang kadang terasa rapuh.

“Tata krama bukan hanya etika berbicara atau sikap tubuh, tapi juga cara kita menghargai keberadaan orang lain. Ketika kita bersikap santun, kita tidak hanya dihormati, tetapi juga menciptakan suasana yang lebih baik di mana pun kita berada,” tuturnya dengan ekspresi yang penuh keyakinan.

Jawaban-jawaban itu menggema di benak para siswa lain. Beberapa mengangguk pelan, sebagian tampak berpikir. Kata-kata itu mengajarkan bahwa tata krama bukanlah aturan kaku, melainkan sebuah seni dalam berinteraksi—sebuah refleksi dari akhlak yang luhur dan nilai yang diwariskan turun-temurun.

Seiring berjalannya waktu, suasana semakin larut dalam pemahaman kolektif. Klinik Literasi Saujana hari itu bukan sekadar tempat bertukar gagasan, tetapi juga cermin yang menghadapkan setiap individu pada dirinya sendiri—membuat mereka bertanya, sejauh mana tata krama telah menjadi bagian dari kehidupan mereka?

Di penghujung acara, momen kejutan pun datang. Para siswa yang berpartisipasi mendapatkan hadiah, bukan sekadar benda, tetapi lebih dari itu, sebuah simbol apresiasi. Hadiah itu mengingatkan bahwa keberanian untuk berbicara, mengutarakan pemikiran, dan berbagi kebijaksanaan adalah sesuatu yang patut dirayakan.

Saat acara berakhir, langkah kaki para siswa meninggalkan jejak di lapangan. Namun, lebih dari itu, ada jejak yang tertinggal dalam benak mereka—pemahaman baru bahwa tata krama bukan hanya tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita ingin dunia memperlakukan kita.

Dan pada akhirnya, di balik segala teknologi yang berkembang dan perubahan zaman yang kian cepat, tata krama akan selalu menjadi cahaya yang menerangi peradaban. Sebab dalam setiap tutur kata yang santun, dalam setiap sikap yang penuh hormat, ada harapan akan masa depan yang lebih baik, di mana masyarakat tidak hanya pintar berbicara, tetapi juga bijak dalam berperilaku.

newsmatic
Scroll to Top