Sejak awal karier, mulai dari guru honorer hingga pegawai negeri sipil, saya selalu bertugas di kota. Dalam hal fasilitas dan akses pendidikan, saya cukup beruntung dibandingkan rekan-rekan di daerah terpencil. Namun, meski kondisi sekolah sudah memadai, itu belum cukup untuk mengatasi tantangan pendidikan yang semakin kompleks. Masalah pendidikan tak bisa diselesaikan hanya dengan teknologi atau ruang kelas yang nyaman saja.
Untuk menjadi guru yang efektif saat ini, menguasai materi pelajaran saja tidak cukup. Dunia terus berubah, begitu pula dengan murid yang turut beradaptasi dengan perubahan itu. Generasi baru tumbuh dengan nilai-nilai dan budaya yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Di tengah derasnya arus perubahan ini, sebagai generasi X, kita tak punya pilihan selain berada di garis depan, menjadi jembatan antara tradisi lama yang penuh dengan tata krama dan zaman sekarang yang serba cepat dan instan.
Siswa yang Tidak Lagi Sama
Jika kita menelusuri lebih dalam, perubahan karakter murid adalah tantangan yang paling nyata. Banyak dari generasi baru saat ini tidak lagi menjadi penurut seperti generasi sebelumnya. Rasa hormat dan sopan santun yang dulu dijunjung tinggi kini semakin memudar. Tak berlebihan, jika kita merasa guru sekarang tidak lagi dipandang sebagai sosok yang disegani, apalagi ditakuti. Guru kini lebih terlihat seperti ‘orang dewasa lain’ yang sekadar mengajar dari satu kelas ke kelas lainnya.
Tentu saja, sebagian dari kita ada yang sependapat, menyamakan sekaligus mengharapkan generasi baru dengan sebelumnya adalah satu kekeliruan. Hadirnya era digital, generasi baru kini terbiasa dengan pola komunikasi yang cepat dan instan, yang pada akhirnya membuat mereka kurang paham akan pentingnya proses. Hal ini berdampak pada kesulitan mereka dalam menghargai setiap tahapan dalam mencapai tujuan.
Inilah tantangan besar bagi para guru: bagaimana menerapkan prinsip pembelajaran yang berkesadaran—belajar dengan kesadaran penuh tentang apa, mengapa, dan bagaimana guru serta murid hadir sepenuh hati; yang bermakna—materi yang diajarkan terhubung dengan kehidupan nyata sehingga menjadi relevan dan berkesan; serta yang menyenangkan—menciptakan suasana belajar yang seru dan aman, yang memotivasi murid untuk semangat tanpa takut membuat kesalahan.
Pemerintah merangkum konsep ini dengan istilah Deep Learning (pembelajaran mendalam), dan kini para guru di seluruh Indonesia dituntut untuk memahami serta mengimplementasikan pendekatan ini. Satu pesan bagi guru masa kini: jika Anda gagap teknologi, maka Anda tertinggal.
Ketika Orang Tua Mulai Melepas Tangan
Saya tidak bermaksud mengeluh, apalagi menuduh, dan jauh dari niat untuk menganggap diri sebagai guru yang sempurna. Yang saya inginkan hanyalah agar saya tidak dianggap sebagai guru yang berhenti belajar, yang mengajar hanya untuk memenuhi kewajiban. Bagi saya, menjadi guru bukanlah soal mencapai kesempurnaan, melainkan tentang menjadi manusia yang terus belajar, tumbuh, dan berkembang bersama para siswa. Setiap hari saya belajar dari semangat siswa-siswa saya, dari keluhan dan harapan orang tua yang sering datang lewat pesan singkat, serta dari tuntutan zaman yang terus berubah dan menantang.
Saya menyadari sepenuhnya, tantangan itu tidak hanya dari siswa, melainkan yang ikut berubah yaitu perubahan sikap sebagian orang tua yang seolah-olah mulai menarik diri dari tanggung jawab pendidikan karakter anaknya. Pertanyaannya, apakah ini serius sebagai pertanda bahwa kini mereka benar-benar menyerah? Di balik sikap sebagian orang tua yang cenderung menyerahkan seluruh tanggung jawab pendidikan anak kepada sekolah, tersimpan kecemasan yang sulit mereka sembunyikan. Di lapangan, banyak orang tua yang mengungkapkan kekecewaan dan bahkan menangis, merasa gagal dalam mendidik anak-anak mereka.
Ceritanya beragam, namun sebagai guru, saya tak bisa menahan napas panjang mendengar berbagai penderitaan yang mereka alami. Salah satunya yang paling menyayat hati adalah kisah seorang anak yang harus menghadapi kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah bercerai, sementara bapaknya menjauh menempuh jalan hidupnya sendiri.
Sudah saatnya, kemitraan pembelajaran di sekolah mendapatkan tempat dari berbagai kalangan, seperti orang tua, tokoh, dan elemen masyarakat lainnya yang peduli akan pendidikan. Kondisi hari ini, pendidikan yang bertumpu sepenuhnya mengandalkan keberadaan guru di sekolah, mungkin berjalan, namun hasilnya tidak optimal dan jauh dari harapan.
Di balik semua itu, tidak bisa disangkal kuatnya tekanan hidup, ekonomi, dan keluarga yang tidak baik-baik saja, membuat orang tua kewalahan, tidak fokus, lalu secara tidak sadar menyerahkan sepenuhnya pembinaan anak pada sekolah. Ini bukan membual, melainkan sebuah kenyataan yang sudah biasa di lingkungan sekolah. Parahnya lagi, giliran sekolah membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, penolakan pun terjadi. Bahkan masih ada yang lebih memprihatinkan, rasa ketidakpuasan orang tua akhirnya mengudara di berbagai media sosial. Fenomena ini mengungkapkan betapa rapuhnya peran guru di zaman sekarang. Apakah guru marah? Mungkin ada yang merasa demikian. Tetapi pada akhirnya, guru harus tetap belajar, ikhlas, dan yang lebih penting lagi adalah menerima setiap konsekuensi dari amanah yang diembannya.
Mengajak Orang Tua Menjadi Guru
Siapa yang seharusnya menjadi guru pertama bagi seorang anak? Bukanlah sekolah, melainkan orang tua. Namun kini, peran itu tergerus. Saya percaya tidak ada solusi yang instan. Tapi terbuka ruang untuk membangun sebuah peradaban baru. Saya pun berpegang pada keyakinan bahwa sebagian besar orang tua murid belum benar-benar memahami seperti apa kondisi pembelajaran di kelas hari ini.
Maka, saya mensiasati sekaligus memutuskan untuk mengajak orang tua murid masuk kelas memberikan materi apa saja, tidak mesti pelajaran yang sulit atau rumit, bisa tentang etika, moral, cita-cita, kehidupan, dan materi brilian lainnya.
Ketika saya memutuskan mengajak dua orang tua masuk kelas dengan durasi satu jam pelajaran, respons dua ibu itu pun beragam. Ada yang tampak percaya diri penuh di awal, dan sesekali kelihatan gugup di hadapan puluhan pasang mata yang tanpa kedip menatap. Saya terkejut, sembari tersipu kecut, belum sampai lima menit berjalan, seorang murid tidur di bangku belakang. Seketika raut wajah ibu itu berubah, bingung, sekaligus tidak percaya. Usai mengajar, ia berkata lirih kepada saya, “Ternyata tidak mudah ya, Pak, menjaga anak-anak untuk tetap fokus.” Saya kira anak itu kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, sambungnya lagi. Sengaja saya tidak menjawab dengan kata-kata, saya hanya bersedekah senyum atas kejadian kecil yang belum seberapa. Dari pengalaman sederhana itu, saya menyimpan harapan besar kepada orang tua, semoga lahir kesadaran bahwa kondisi pembelajaran hari ini perlu kolaborasi orang tua dan guru.
Guru Hari Ini: Di Antara Banyak Peran
Keberadaan guru hari ini bukan hanya sekadar pengajar. Perannya cukup kompleks. Mulai dari menjadi fasilitator, pembina karakter, pembimbing emosional, bahkan ada peran baru, yakni sebagai guru wali, sekaligus administrator pendidikan yang harus taat pada berbagai pelaporan. Terkadang, saya merasa peran guru saat ini lebih mirip “manajer kelas” daripada pendidik. Intinya, guru harus piawai dalam mengelola waktu, sehingga guru tidak merasa waktunya tersita oleh penyelesaian laporan dan sistem yang terus berubah, sementara kebutuhan berinteraksi secara bermakna dengan siswa justru terpinggirkan.
Namun, saya tetap percaya bahwa guru hari ini adalah penjaga nilai, bukan hanya penyampai informasi. Teknologi bisa menggantikan buku, bahkan menghadirkan guru-guru hebat dari seluruh dunia ke layar anak-anak. Tapi sentuhan manusiawi, empati, dan keteladanan—hanya bisa diberikan oleh guru yang hadir secara nyata.
Sebagai guru, dituntut untuk melek teknologi, memahami psikologi anak, serta mampu berkomunikasi dengan berbagai latar belakang keluarga. Namun, di saat yang sama, kami juga membutuhkan dukungan: dari orang tua, dari masyarakat, dan dari sistem pendidikan yang memberi ruang tumbuh, bukan hanya menuntut angka. Dengan bersama, kita bisa menjemput cita-cita luhur untuk dipersembahkan kepada generasi pelurus bangsa.
Pendidikan Bukan Kerja Sendiri
Dalam pembelajaran mendalam, ada yang namanya kemitraan pembelajaran. Artinya, pendidikan saat ini seharusnya menjadi kerja bersama dengan berbagai lapisan masyarakat, terutama orang tua murid. Tujuan pendidikan akan sulit tercapai jika semua bertumpu hanya kepada guru semata. Tidak bermaksud menyalahkan. Dari segi hitungan waktu, para murid di sekolah berakhir pukul 15.30. Selebihnya, anak-anak berada di rumah, di lingkungan, dan di dunia maya, semua itu jauh lebih besar pengaruhnya jika orang tua tidak turut serta membimbing.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang mendukung pertumbuhan tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi orang tua dan guru. Lewat keterlibatan aktif orang tua dalam kegiatan sekolah, kita bisa membangun ekosistem pendidikan yang sehat, yang tidak saling menyalahkan, tetapi saling menguatkan.
Saya juga berharap, guru diberikan ruang untuk benar-benar menjadi pendidik, bukan sekadar pelaksana kebijakan teknis. Pendidikan bukan sekadar kurikulum, bukan hanya asesmen, tetapi proses mendampingi manusia tumbuh menjadi versi terbaik dirinya.
Penutup: Menyalakan Semangat, Menjaga Nyala
Menjadi guru hari ini memang tidak mudah. Saat saya melangkah masuk ruang kelas, lalu berpindah ke ruang kelas lainnya, menelusuri koridor sekolah yang hening, saya melihat secercah mata murid-murid yang penuh harapan.
Saya diingatkan kembali akan alasan saya memilih jalan ini. Saya percaya bahwa meski zaman berubah, nilai-nilai kebaikan tentu saja tetap bisa diajarkan. Tanpa ragu. Saya meyakini, selama saya masih mau mendengar, tidak berhenti belajar, saya akan tetap kuat.
Saya tahu, saya tidak sempurna. Saya juga tahu, setiap langkah kecil yang saya lakukan, mengajak orang tua terlibat, membangun komunikasi, memahami dunia anak-anak hari ini, adalah upaya untuk menjaga nyala itu tetap hidup.
Di Kepulauan Riau, di tengah riuh rendahnya kota dan derasnya arus perubahan, saya memilih tetap menjadi guru, meski bukan menjadi guru yang hebat. Saya hanyalah lentera kecil, mungkin tak terang benderang, namun tetap berjuang menjaga semangat dan menyalakan harapan di sanubari murid-murid saya menuju masa depan mereka. Semoga langkah kecil ini, bersama tekad dan doa, bisa memberi cahaya untuk perjalanan panjang mereka, dan semoga kita semua terus menjadi bagian dari perubahan yang lebih baik. Aamiin.
Paizal Amri, S.Pd., M.Sn.
Tamalatea 1 Oktober 2025
