Pahlawan Tanpa Piket: Fanisa, Inspirasi dari Lantai Dua (SainTek)

“Banyak yang bisa bicara cinta lingkungan, tapi hanya sedikit yang benar-benar melakukannya. Hari itu, saya menyaksikan satu dari yang sedikit itu.”

Hari Kamis itu dimulai seperti biasa. Langit cerah, aktivitas sekolah berjalan seperti rutinitas umumnya. Saya, seperti yang sudah menjadi kebiasaan pagi saya, berkeliling lingkungan sekolah—memastikan kelas dalam kondisi bersih, halaman rapi, dan suasana sekolah terasa nyaman bagi semua warga. Namun pagi itu, saya disuguhi pemandangan yang tak biasa.

Di sudut lapangan, saya melihat seorang siswi sedang memungut sampah. Seorang diri. Tanpa suara, tanpa kamera, tanpa teman, tanpa komando. Tangannya bekerja, langkahnya terarah, hatinya bicara melalui tindakannya. Saya dekati dan menyapanya, “Terima kasih ya, Nak. Kamu piket hari ini?” Dengan senyum kecil dan tenang, ia menjawab, “Saya kelas XI SAINTEK, Pak.”

Saya cukup kaget. Lokasi lapangan yang sedang ia bersihkan itu cukup jauh dari kelasnya di lantai dua. Bukan tanggung jawab piketnya. Bukan zona yang seharusnya ia urus. Maka saya tanya lagi, “Kenapa kamu lakukan ini?” Jawaban yang ia berikan membuat saya terdiam sejenak. “Soalnya malu, Pak, kalau ada tamu datang ke sekolah kita dan lihat sampah berserakan.”

Kata-katanya sederhana, tapi maknanya dalam. Ia bicara bukan dengan nada tinggi, bukan dengan slogan besar. Tapi dengan kesadaran yang jernih dan cinta yang nyata terhadap sekolah ini. Saya pun ikut membungkuk, membantu memungut sampah bersamanya. Dalam perbincangan singkat itu, ia sempat berkata, “Maaf Pak, biar saya aja. Nggak apa-apa kok.” Ucapan yang tulus, keluar dari hati yang besar dan penuh kepedulian.

Beberapa menit kemudian, siswa lain mulai berdatangan. Tanpa disuruh. Tanpa aba-aba. Mereka ikut membersihkan lapangan bersama Fanisa. Sebuah aksi kecil telah memantik perubahan. Teladan satu orang telah menciptakan gelombang kebaikan.

Dan di sanalah saya berdiri, menyaksikan bahwa kepemimpinan tidak selalu soal posisi. Kadang, kepemimpinan justru lahir dari mereka yang diam-diam bekerja, yang tak menunggu diminta, yang tak menunggu sorotan.

Sebuah Aksi Heroik dari Hati yang Tulus

Kabar dan temuan atas tindakan dari siswi bernama Fanisa, kelas XI SAINTEK, ini bagi saya bukan hal sepele. Ini penting dan sangat menginspirasi. Di tengah zaman ketika banyak orang hanya bergerak jika diperintah, Fanisa justru melangkah lebih dulu. Melakukan sesuatu seorang diri, tanpa disuruh, tanpa didampingi—adalah tindakan luar biasa yang luar biasa.

Sebagai Kepala Sekolah, saya merasa bangga luar biasa memiliki siswa seperti Fanisa. Ia adalah gambaran nyata bahwa nilai karakter tidak hanya diajarkan di ruang kelas, tapi dihidupi dan diwujudkan dengan tindakan nyata.

Fanisa telah mengingatkan kita semua bahwa mencintai sekolah bukan hanya soal prestasi akademik atau pencapaian nilai, tapi juga soal merawatnya dengan sepenuh hati. Ia mengajarkan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari banyak orang. Cukup satu orang yang punya kesadaran dan kemauan, maka gelombang kebaikan akan mengikuti.

Terima Kasih, Fanisa!.

Terima kasih atas inspirasimu. Kamu adalah siswi hebat, sederhana namun bermakna. Langkah kecilmu di lapangan sekolah itu telah menyentuh hati kami semua. Kamu tidak hanya membersihkan halaman sekolah, tapi juga menyapu debu apatis dari hati kami.

Saya tahu Fanisa tidak mengharapkan pujian apa pun dari saya. Tapi sebagai Kepala Sekolah, izinkan saya memberikan apresiasi melalui tulisan yang tak seberapa ini—sebagai bentuk rasa hormat dan bangga saya atas tindakanmu yang begitu mulia. Semoga apa yang kamu lakukan menjadi teladan dan menginspirasi siswa-siswa lainnya di SMAN 14 Batam. Sekolah ini menjadi tempat yang lebih baik, karena ada pribadi sepertimu di dalamnya.

Tamalatea, 4 September 2025

 

newsmatic
Scroll to Top